Mengenai Saya

Foto saya
Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia

Selasa, 21 Februari 2023

MAMA











Sajak cinta memang sederhana,

Tapi tidak dengan larik “pelampung tinggal satu,” 

pada bait “kapal Cantika.”

Isyarat cinta ibu pada anak, Yang menjadikannya tenggelam.


sajak cinta memang sederhana, 

tapi tidak dengan bait “penjaga tungku dalam rumah,”

isyarat kuat beri pelukan, seolah tegar asa harapan,

nyata rapuh dia diamkan.


Sajak cinta memang sederhana,

Tapi tidak dengan rima “ dusta si pembohong besar.”

Isyarat paksa senyum, seolah jujur,

Demi kenyang anak, ia rela lapar.


 Kupang, 29 Oktober 2022

Senin, 13 Februari 2023

Hari Kasih Sayang.

 


Hari Kasih Sayang.

Kasih apa? Sayang siapa?

Hari barter coklat dan harga diri!

 

Berbicara tentang Valentine day, banyak dari kita kemudian mengartikannya sebagai hari kasih sayang yang selalu dirayakan pada tanggal 14 Februari. Hari kasih sayang itu sebenarnya mengenang seorang Santo bernama Valentinus  dari Roma, yang dihukum rajam dan berujung dipenggal kepalanya, karena menentang dekrit Kaisar Klaudius. Karena sikap pembelaannya terhadap moral kaum muda Roma itu, hari kematiannya yaitu pada tanggal 14 Februari, dikenangkan sebagai hari Valentine.

Dewasa ini, Valentine day dirayakan secara universal, hampir di seluruh pelosok dunia. Namun, perspektif atau nilai dari valentine itu sendiri kini kian bergeser. Tidak sedikit orang, terkhusunya kaula muda mengartikan hari kasih sayang itu sebagai hari untuk memberikan “kasih sayang” secara penuh kepada seseorang yang istimewa saja. Sampai pada titik ini belum nampak sesuatu yang ganjil. Tapi jika diperhatikan lebih dalam, orang istimewa yang dimaksudkan bukanlah orang tua, bukan sahabat, bukan teman, bukan pula kerabat bahkan bukan Tuhan. Orang istimewa menurut mereka adalah pacar. Benar tidak jadi persoalan pacar menjadi orang istimewa, tapi dapatkah cinta seorang pacar disetarakan dengan cinta, pengorbanan dan perhatian orang tua? Apakah cinta seorang pacar lebih besar dari cinta Dia yang tergantung di kayu salib demi menebus dosa manusia?

Mirisnya lagi, hari kasih sayang diartikan sebagai “saya cinta maka saya kasih,” yang mana pada hari itu, tidak sedikit kaum muda khususnya kaum wanita dengan suka rela bertemakan Valentine day, menukarkan kehormatannya dengan sebatang coklat seharga Rp 10.000. Apakah itu pantas?

Saya kira demikian, di hari kasih sayang ini patutnya sebagai orang beriman, pertama-tama mengucapkan syukur kepada Tuhan. Setelah itu, ungkapkan syukur dengan cinta yang dalam untuk kedua orang tua. Sekedar membagikan pikiran, jika saja di setiap hari, kita selalu menerima dengan sadar, mensyukuri dan berusaha membagikan kasih sayang kepada semua orang, tidaklah begitu berarti hari kasih sayang itu.

 

Diantara Terbuang dan Berjuang

 

Perlahan ku buka mata. Berat, ya memang sangat berat tuk tinggalkan mimpi yang belum tuntas ku rajut, tapi harus ku paksakan!


Kelat!

Jujur hati enggan membuka mata ini,  namun raga tak harus terus tidur. Bergerak mencari jawaban.


Terbelalak bola mata memerah, muka turut serta namun hati tidak, ia lebih memilih untuk bingung dan terus menatap tontonan lucu yang kian terpamerkan.


Lelah melihat, tanpa komentar hati bertanya, mengapa demikian?

Mengapa dan terus saja mengapa?


Mata lebih melihat namun kala peka dari nurani. Peka terhadap jiwa yang mudahnya meninggalkan jasad, jiwa muda obsesi dan stres berputus asa dan putus  nyawa.


Inikah prinsip hidup yang semestinya? Lalu apa yang seharusnya membuat badan  melayang bebas dari penyebrangan bernamakan "Liliba" Tersebut?


Hai muda, kau teramat kuat,

Janganlah berpekikan berat-berat,

Kepalamu masih dibutuhkan rakyat.

Lupakah kau akan hidup lalu yang kian melarat, hingga kau terpaksakan batinmu untuk terjun bersaing dengan ribuan ambisi yang sarat?


Jilatlah ludah mu itu! 

Jilat saja! Tak perlu kau risau pada mata indah rembulan yang kadang tak selalu sepenuhnya datang.

Wajahnya ia sembunyikan!

Ia pun tak  setia bukan?


Lawanlah nabsu hasrat mu! 

Kau masih teramat kuat!

Tapak jauh masih harus kau rajut. 


Ingatlah betapa pilu luka dalam sang pujaan mu? Mereka teramat luka melihat kau patah dalam tumbuh yang terlalu mudah!


SEGERALAH BANGUN DARI MIMPIMU HAI KAU YANG MUDAH!!!!


_Modestus Petter Iwan Dlhg

Minggu, 12 Februari 2023

Berderak Diantara Retak dan Hampir Pecah

"Refleksi dari kalimat seandainya dulu"

Selamat pagi terucap dari mulut untuk semesta, tapi yang utama adalah sepasang mata yang tak pernah jenuh memandang keruhnya alur hidup nan butuhkan nasihat ini.


Mentari masih belum terlihat betul, tapi dia, sosok yang tak juga istimewa penampilannya tlah berlalu mengejar nafkah demi sesuap nasi.

Ingatkah kah kau, bahwa tiap-tiap nikmatnya suapan kedalam rahang mu adalah hasil pengorbanan peluh, nanah, bahkan darah dari dia yang raut wajahnya kian mengkerut keriput?


Seorang ayah mungkin saja  tak pernah berkata "Aku menyayangi mu Nak!", Tetapi ketahuilah, bahwa bilamana ibu mengandung selama sembilan bulan sepuluh hari di dalam rahimnya, dari saat itu juga ayah mengandung anaknya selama hidupnya dalam kepalanya, mengandung pikiran memecah pekiknya persoalan, tanggung jawab,  demi bagaimana melihat  raga mu tersenyum bahagia.


Dia kian rapuh, wajahnya kian keriput, ubannya mulai nampak. Ya, dia menua!

Tapi pernahkah sekali saja mulut bertanya; "Ayah, apa cita-cita di senjanya usiamu nanti?"


Tak lain dan tak bukan, hanya akan ada satu jawaban..... 

"Nak, ketahuilah, ada satu kebahagiaan terbesar yang sangat ayah harapkan. Sukses mu lah yang harus menghentikan kerja keras ku selama ini, sukses mu lah yang harus membahagiakan raga ini hingga mata kian redup dan tertutup!"


Hati pedih, relung kian sedih!

Pukulan yang teramat dalam menusuk, sangat lah sakit. Tetesan air mata membasahi pipi, tanda penyesalan.


Maaf ayah, aku gagal.

Aku terjerat keteledoran, aku melupakan semua perjuangan mu,  tlah aku patahkan semangatmu.

Bantu aku ayah, berdoalah untuk jalan di depan ku.

Tak ada dan tak pernah ada tempat yang lebih baik tuk bersandar. Ayah kemana pun kami ingkar, pasti akan kembali di bawa kaki tak beralas mu ini.

Sabtu, 11 Februari 2023

Pemuda Cinta Gereja Dan Bangsa

 



Pemuda Cinta Gereja Dan Bangsa

 

 

Sapardi Djoko Damono, dalam puisi berjudul “Bunga-bunga di taman,” menggambarkan bagaimana banyak bunga dengan jenis dan warna yang berbeda dalam satu taman yang sama (Damono, 1994: 11). Secara tidak langsung, puisi ini menggambarkan pula keadaan bangsa Indonesia yang majemuk. Indonesia dikatakan majemuk karena memiliki banyak suku, bahasa, adat-istiadat, budaya dan agama. Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian menghiasi dan mewarnai bangsa Indonesia.

Kendati demikian, hidup dalam perbedaan tidaklah mudah, apa lagi bila perbedaan dijadikan alasan untuk melahirkan konflik. Memang konflik lumrah terjadi di dalam interaksi sosial, namun jika konflik itu tidak disikapi dengan bijak, maka dapat menimbulkan ketidaknyamanan yang berujung pada perpecahan bangsa dan negara. Lalu bagaimana cara untuk mengatasi dan mengantisipasi terjadi konflik dalam kehidupan dengan penuh perbedaan seperti ini? Emile Durkheim, seorang sosiolog menawarkan teori Keteraturan sosialnya, baik dalam masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan. Hematnya, Durkheim menjelaskan bagaimana keteraturan dalam masyarakat dapat tercipta melalui proses tertib sosial yang bersadarkan norma yang berlaku dalam masyarakat, hukum sebagai norma yang baku dan kaku yang pada akhirnya melahirkan sebuah pola keteraturan.

Lalu apa afiliasi dengan Orang Muda Katolik, sebagai generasi bangsa dan Gereja? Kembali pada konteks masyarakat, yang mana tidak hanya terdiri dari satu agama. Dengan demikian, orang muda pada umumnya dan secara khusus orang muda Katolik harus mampu menempatkan diri sesuai dengan posisi yang tepat dalam masyarakat, seturut dengan pandangan Durkheim. Atau dengan kata lain, sebagai orang muda Katolik, tidak boleh memaksakan perspektif-perspektif Katolik secara spesifik kepada semua orang secara universal dalam masyarakat. Mengapa? Karena sekali lagi ditekankan bahwa tidak semua masyarakat itu beragama Katolik, yang artinya tidak semua masyarakat dapat menerima perspektif agama Katolik. Secara lebih spesifik, John Rawls dalam A Theory of Justice, menjelaskan tentang apa itu “posisi asali” manusia (Loe, 2015: 11). Yang mana posisi asali itu adalah sebuah sifat refektif personal atau individu dalam menyikapi perbedaan. Hakekatnya manusia adalah makhluk individu, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia juga makhluk sosial, yang mana manusia memiliki kerinduan dan kebutuhan untuk berinteraksi secara manusiawi dengan manusia lain. Atau dapat dijabarkan bahwa OMK adalah anggota Gereja, tetapi juga memiliki kerinduan untuk berinteraksi dengan orang muda dari agama lain

Lalu bagaimana orang muda Katolik harus bersikap dalam interaksinya dengan sesama beragama lain, berhubungan dengan orang muda yang 100% Katolik dan 100% Indonesia? Menjawabi hal ini, sebenarnya kita perlu kembali pada hukum tertinggi dalam Gereja Katolik tentang “cinta kasih”. “Barang siapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih”(Bdk. 1 Yohanes 4: 8). Ajaran tentang mengasihi dalam Gereja Katolik, tidak hanya mengarah pada kasih terhadap sesama umat beriman Katolik semata, tetapi juga kepada semua orang, termasuk sesama beragama lain, sebagaimana yang tertulis dalam Injil Matius 5: 45, bahwa Allah menerbitkan matahari dan menurunkan hujan tidak hanya untuk orang baik, tetapi untuk semua orang. Maka dari itu, sikap saling menerima, menghargai dan menghormati cukup untuk membawa keharmonisan dalam interaksi orang muda Katolik dengan orang muda beragama lain. Atau dengan bahasa teoritis dalam buku Collected Paper (1999), Jhon Rawls menawarkan konsep nalar privat dan nalar publik. Artinya, dalam komunikasi pribadi, intern atau prifatnya orang muda Katolik boleh mengedepankan  konsep agama Katolik secara spesifik, tetapi dalam interaksi dan komunikasi bersifat publik, hal tersebut harus dihindari.

Kemudian, dalam menjawabi pertanyaan manakan yang lebih penitng, negara atau agama? Tentu saja dua-duanya sama penting, orang muda Katolik adalah umat Allah, tetapi di samping itu mereka juga adalah masyarakat yang berkewajiban menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Merujuk pada ajaran Yesus, “berikan kepada kaisar, apa yang menjadi hak kaisar dan berikan kepada Allah, apa yang menjadi hak Allah.” Bagaimana aplikasinya? Sebagai umat Gereja,  orang muda Katolik wajib menjalankan 10 perintah Allah dan 5 perintah Gereja, Aktif dalam kegiatan pastoral (katekese, kor, dsb). Dan sebagai masyarakat, orang muda Katolik wajib mematuhi aturan-aturan pemerintah dan menjaga kedaulatan bangsa Indonesia.

Ringkasnya, sebagai orang muda Katolik harus menjadi manusia yang ironis liberal, yang mana ia kuat dan tekun dalam imannya, tetapi dalam berinteraksi mampu menghargai, menghormati dan pada puncaknya merayakan perbedaan yang ada. Karena pada hakekatnya, seturut dengan pernyataan Richard Rorty bahwa segala sesuatu yang dipikirkan, dikatakan dan dilakukan oleh setiap orang, menggambarkan kualitas dirinya, kualitas imannya dan kualitas agamanya. Maka dari itu, gambarkanlah kualitas iman dan agama Katolik dalam tutur kata dan sikap kita sebagai orang muda Katolik yang cinta Gereja dan bangsa.

 

MPI_Dlh-G

 

REFERENSI

Damono, S. D. (1994). Manuskrip Puisi Hujan Bulan Juni. PT. Grasindo.

Lembaga Alkitab Indonesia. (2011). Alkitab Deuterokanonika (19th ed.). LAI dan LBI.

Loe, Y. B. I. (2015). Kebebasan Setara Sebagai Pilar Penyokong Keadilan Dalam Masyarakat Demokrasi Menurut John Rawls. Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.

 

Selasa, 07 Februari 2023

CERCA HARAP DALAM GELAP

 




CERCA HARAP DALAM GELAP

               Refleksi Pribadi

 

Tertegun dalam bayang, benar benar berpikir keras. Masalahnya bukan soal luka bergaris pada fisik, lebih dari itu ini luka batin! Sakinya teredam raut palsu dengan senyum. Ya, senyum manis terlantunkan, tapi tak ada yang tahu suasana hati dengan bau busuk, sakit dengan luka kian membangkai. “Kapan kn lepas semua ini?” terumpat sebaris tanya dalam sedalam relung jiwa.

Aku masih muda, jalan perhelatanku masih teramat panjang. Lalu mengapa semudah itu kuputuskan harap sekian banyak kepala? Aku lalai dalam amanah, aku tersandung batu kepercayaan yang kian membengkakkan mata mereka, mereka kini pilu, dengan air muka yang kian kusut.

Marah pada ku?

Benci pada ku?

Tak menyukaiku?

Silahkan!

INILAH AKU DENGAN KEAKUANKU!

Salahkah insan tak sempurna ini Tuhan?

Hufffffffffffff,....

Percaya saja, cahaya tak benar-benar hilang, sekalipun hanya tersisa kunang-kunang di antara sukma penuh bimbang. Dari kekalutan yang begitu pekatnya, berusaha ku bangkit tuk rajut kembali benang yang tlah kusut. Benar memang itu sangatlah susah, tapi tidak lebih baik mati kembali sebagai “BANGKAI!”

Senin, 06 Februari 2023

PENDIDIKAN MEMBENTUK ATAU MERUBAH?

 



Modestus Peter Iwan Doluhalang

 

Berbicara tentang pendidikan mengingatkan kita pada pendapat Plato, bahwa “Kesempurnaan bukanlah bakat, tetapi keterampilan yang membutuhkan latihan.” Saya katakan demikian karena memang dalam pendidikan kita dapat melatih keterampilan kita, baik bagi seorang guru atau pendidik maupun sebagai seorang peserta didik. Dari ketidaktahuan kita belajar menjadi tahu, dari tidak terampil kita berlatih menjadi terampil. Menanggapi hal ini, bangsa Indonesia sudah sejak lama memperjuangkan kecerdasan kehidupan rakyatnya, dengan tujuan tidak lain untuk memajukan peradaban bangsa Indonesia, karena memang maju dan mundur peradaban suatu bangsa bergantung pada maju dan mundurnya kualitas rakyatnya. Inisiatif bangsa Indonesia ini nampak jelas dalam pembangunan sekolah sebagai tempat pendidikan formal dari tingkat sekolah dasar sampai pada perguruan tinggi.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kabar pendidikan setelah 77 tahun merdekanya bangsa ini? Katanya semua diatur dakam sistem pendidikan, dan dalam sistem itu semua peserta didik distandarisasikan. Jika demikian sekian banyak siswa di negara besar  seperti negara Indonesia ini pasti dianggap “bodoh,” karena apa? Karena setiap anak cerdas di masing-masing aspek dan memiliki banyak perbedaan, baik dari jenis potensi, latar belakang dan sebagainya dan tidak bisa disamaratakan. Meminjam pernyatan Albert Einstein bahwa “semua anak itu jenius, tetapi jika seekor ikan dinilai dari bagaimana cara dia memanjat pohon, anak itu akan merasa bodoh seumur hidupnuya.” Kemudian disampaikan juga oleh Bapak Pendidikan Bangsa Indonesia, Ki Hajar Dewantara bahwa “padi tidak bisa menjadi jagung dan jagung tidak bisa menjadi padi” demikian sistem pendidikan dengan ciri khas standarisasi harusnya ditiadakan, karena dengan adanya standarisasi pendidikan bukannya membentuk potensi anak, tetapi justru menghancurkan dan merubah potensi itu sesuai standar yang berlaku, padahal belum tentu standar itu sama dengan karakter anak itu sendiri. Dengan demikian sangat diharapkan semua pihak dalam menindaklanjuti hal ini, baik pihak pemerintah, pihak sekolah, orang tua dan masyarakat.

Yang memegang peran penting dalam pendidikan formal memanglah guru, tetapi pendidikan pertama dan terutama berada dalam  keluarga dan dalam masyrakat. Seperti kata Ki Hajar Dewantara bahwa “setiap orang bisa menjadi guru, dan setiap rumah bisa menjadi sekolah.” Artinya bahwa pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah saja, tetapi pendidikan juga terjadi di semua tempat. “setiap orang bisa menjadi guru” mengartikan bahwa pendidikan dalam hal belajar bisa didapatkan dari siapa saja, baik itu orang tua, keluarga dan teman. Pendidikan yang dimasudkan Bapak Pendidikan Nasional ini adalah pendidikan atau pembelajaran secara terbuka, dari siapa saja dan di mana saja. Dan dengan bebas mengekspresikan potensi diri sesuai dengan karakteristik. Dalam hal ini, dibutuhkan peran serta secara aktif dari masyarakat. Dikatakan demikian karena jika pembelajaran terjadi di mana saja, termasuk dalam lingkungan masyarakat, maka masyarakat pun harus memberikan contoh yang mendidik atau contoh yang baik.

Selanjutnya, beralih pada kebebasan belajar sesuai potensi diri. John Rawls dalam tesisnya tentang kebebasan setara menyatakan bahwa kebebasan pada satu pihak tidak akan menimbulkan konflik, jika tidak merugikan kebebasan pihak lain. Dua pihak yang hendak diandaikan di sini adalah pihak sekolah dan pihak peserta didik. Jika kebebasan siswa dalam belajar guna mengembangkan potensi diri yang berbeda-beda tidak diintimidasi oleh sistim standarisasi tidak mungkin ada siswa yang dicap “bodoh”. Karena apa, pada dasarnya setiap orang akan dengan bahagia dalam melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya, tinggal saja pihak kedua yaitu pihak sekolah membimbing, mengarahkan dan membentuk potensi, tanpa merubah potensi itu. Dengan demikian tidak mungkin tidak tercipta pendidikan yang efektif.

KAJIAN KEADILAN MENURUT JOHN RAWLS DAN IMPLEMENTASINYA DALAM AKSI DEMONSTRASI PENOLAKAN PENDIRIAN GEREJA DI DESA BRINGKANG KECAMATAN MENGANTI KABUPATEN GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

  Latar Belakang

Pada 27 April 2017, seorang sastrawan bernama Sitti Khadeeja menuliskan sebuah puisi dengan judul “Keadilan Yang Hilang.” Dengan potongan lirik sebagai berikut: “.....Kepada siapa keadilan berpihak? Hanya tuan puanlah yang memilikinya.” Dalam puisi ini, baik judul maupun isi menggambarkan bagaimana refleksi mendalam dari penulis tentang ketimpangan keadilan di negara Indonesia.[1] Hematnya penulis menggambarkan keadaan keadilan dan hukum yang bersifat tajam ke bawah dan tumpul ke atas atau dengan kata lain memihak pada kaum kapitalis seturut teori konsep demokrasi Liberal-Kapitalis. Tidak hanya itu, diskriminasi keadilan juga terjadi antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dari aspek agama, sebagaimana yang dituliskan oleh Abdi (2020, Oktober 11):

1.             Pada tanggal 13 September 2020, sekelompok warga Graha Prima Jonggol di Bogor menolak ibadat jemaat Gereja Pentakosta.

2.             Pada tanggal 13 September 2020, sekelompok warga di daerah Bekasi mengganggu ibadah jemaat HKBP KSB.

3.             Pada tanggal 21 September 2020, umat Kristen dilarang beribadah oleh sekelompok orang di desa Ngastemi kabupaten Mojokerto.[2]

Dari persoalan intoleransi agama ini, banyak orang menilai bahwa hukum bersikap tajam kepada kaum minoritas dan tumpul terhadap kaum mayoritas. Persoalan semacam ini kemudian terjadi lagi pada tanggal 4 April 2022, Warga Bringkang tolak pendirian Gereja.[3] Pada tulisan ini penulis hendak menganalisa duduk persoalan penyebab sikap intoleransi di desa Bringkang sesuai dengan hukum negara Indonesia dan teori kebebasan setara dalam tesis John Rawls, refleksi dari hasil diskusi bersama beberapa teman-teman mahasiswa Sekolah Tinggi Pastoral Keuskupan Agung Kupang.

Dari uraian latar belakang di atas, penulis kemudian merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:

1.     Bagaimana gambaran persoalan warga Bringkang tolak pendirian Gereja di Desa Bringkang Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur?

2.           Bagaimana landasan hukum Indonesia dan Teori keadilan John Rawls?

3.     Bagaimana hubungan persoalan warga Bringkang tolak pendirian Gereja di Desa Bringkang Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur dengan Teori keadilan John Rawls?

 Gambaran Persoalan Warga Bringkang Tolak Pendirian Gereja

Berdasarkan berita yang dituliskan oleh jurnalis Willy Abraham pada media Surabayatribunnews.com dengan judul berita Warga: Bringkang Tolak Pendirian Gereja, Camat Menganti Gresik Sebut Sudah Ada Audiensi, pada tanggal 4 April 2022 dapat diuraikan pokok persoalan sebagai berikut. Warga setempat melakukan aksi demonstrasi dengan membawa spanduk dan banner sambil berorasi di depan sebuha gudang yang untuk sementara digunakan sebagai tempat ibadah umat Kristen dan rencananya akan renovasi menjadi Gereja. Hal ini dipicu bukan karena warga setempat tidak mengijinkan penggunaan dan pembangunan gudang tersebut sebagai tempat ibadah, tetapi justru karena pihak Gereja yang bersangkutan tidak mengindahkan atau melanggar poin dari kesapakan yang telah dibuat bersama antara pihak Gereja dan warga setempat. Warga telah setuju dengan penggunaan dan pembanguna Gereja di tempat tersebut, tetapi karena kesalahan pihak Geraja, maka waarga setempat melakukan aksi demonstrasi sebagai bentuk penolakan.

Jika diamati dengan seksama, ditemukan bahwa proses pembanguan dan penggunaan gedung sebagai tempat ibadah sudah di “ia-kan” warga sesuai prosedur hukum seturut Pasal 18 Peraturan Bersama Menteri  (PMB) Agama dan Menteri Dalam Negeri no. 8 dan 9 Tahun 2006.  Namun karena pihak Gereja melakukan aktifitas ibadah diluar kesepakatan dan prosedur sesuai aturan yang berlaku, maka warga setempat merasa tidak terima dan melakukan penolakan.

 Pengertian Keadilan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Redaksi Pusat Bahasa, 2008: 1098), kata keadilan berasal dari kata dasar adil yang berarti: “Tidak memihak; berpihak pada yang benar; dan tidak sewenang-wenang.”  Maka dapat diartikan keadilan sebagai sikap tidak sewenang-wenang, tidak memihak, dan tidak subjektif.

Sementara itu John Rawls sebagai mana yang dikutip dari skripsi Loe (2015: 46) berpendapat bahwa: “keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial. Yang mana kebaikan bagi sekelompok masyarakat tidak boleh mengesampingkan hak kelompok atau pihak lain. Dari pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa keadilan adalah sikap manghargai hak pribadi dengan tidak mengurangi hak pihak lain.

 Landasan Hukum Tentang Keadilan di Indonesia

Panca Sila adalah dasar filosofi keadailan bangsa Indonesia yang kemudian di jabarkan dalam UUD 1945, UU dan aturan hukum lainnya. Sila ke-lima Pancasila Dasar Negara Indonesia berbunyi: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah keadilan di berbagai aspek masyarakat tanpa diskriminasi apapun dan dari pihak manapun, sesuai yang tertuang dalam UUD 1945 tentang kebebasan dari Pasal 28 sampai pada pasal 29 (Tim redaksi Pustaka Baru, 2014), kemudian UU no. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

 Konsep Rawls Tentang Keadilan

Kritik Rawls terhadap ultilitarisme dan untisionisme memperlihatkan bahwa kebebasan dan kesetaraan menjadi basis bagi teori keadilannya. Ia menegaskan bahwa dua prinsip ini hendaknya tidak dikorbankan demi manfaat sosial atau ekonomi, berapapun manfaat yang diperoleh dari sikap itu (Ujan, 2001: 59). Sebab, penerapan kedua prinsip ini tidak hanya mampu menciptakan kebaikan dan keadilan dalam hidup bersama tetapi juga mampu menjaga stabilitas dari generasi ke generasi.

Menurut Rawls “suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar; demikian juga hukum dan dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil” (Rawls, 2006: 3;4). Itu berarti, sebuah teori keadilan yang dikembangkan harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan. Kebebasan dan kesetaraan merupakan prinsip penting dari teori keadilan Rawls kerena dianggap sebagai basis terciptanya keadilan. Berikut akan dijelaskan prinsip-prinsip yang membangun teori keadilan Rawls.

Dua Prinsip Keadilan

Dua prinsip keadilan Rawls yang akan disebutkan ini berangkat dari gagasan posisi asali di mana manusia dinobatkan sebagai person moral yang memiliki daya untuk memahami kebaikan dan mencitrakan keadilan. Daya ini menggerakan setiap orang untuk mengakui dan menyadari bahwa kebebasan dan kesetaraan sebagaimana termuat dalam prinsip keadilan Rawls sebagai hal yang sepatutnya harus diperhatikan, diusahakan dan dilindungi.

Dua prinsip keadilan tersebut berbunyi: Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan semua orang dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang (Rawls, 2006: 72). Dua prinsip ini merupakan penegasan bahwa untuk menciptakan tatanan kehidupan yang baik dan adil orang tidak hanya membutuhkan kebebasan tetapi sekaligus membutuhkan pembagian barang material yang adil. Tanpa barang material kebebasan asasi tak akan bermanfaat sama sekali (Otto G. Madung, 2011: 67). Prinsip-prinsip ini hendak menjelaskan dua hal: Pertama, kebebasan merupakan hal yang penting karena itu ia harus disejajarkan dengan nilai-nilai yang lain. Kedua, keadilan tidak selalu berarti semua orang harus mendapat sesuatu secara merata. Menurut Rawls, ketidaksamaan itu boleh saja ada dan dapat dibenarkan apabila mendatangkan manfaat bagi semua secara khusus bagi mereka yang paling sering tidak diuntungkan (Ujan, 2001: 72-73).

Lebih jauh, untuk menjamin efektifitas prinsip-prinsip tersebut, Rawls menegaskan bahwa keduanya harus diatur dalam tatanan yang disebutnya sebagai serial order. Tatanan ini mengatur hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar tidak boleh ditukar dengan keuntungan-keuntungan ekonomis dan sosial. Dengan demikian, Rawls hendak memberi penekanan pada prinsip pertama yang mengatur kebebasan yang setara dibanding kebebasan yang kedua. Penerapan dan pelaksanaan prinsip keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan dengan prinsip keadilan yang pertama (Ujan, 2001: 73). Penekanan pada prinsip yang pertama tidak boleh dilihat sebagai usaha mengabaikan prinsip yang kedua tetapi harus dipandang sebagai cara untuk menjaga agar kedua prinsip tidak saling bertentangan dan bertabrakan.

Prinsip pertama menegaskan bahwa kebebasan menjadi hal yang harus diprioritaskan. Pembatasan terhadap kebebasan hanya diperbolehkan sejauh hal itu dilakukan demi melindungi dan mengamankan pelaksanaan kebebasan itu sendiri. Hal ini juga bermaksud agar kebebasan diatur di dalam konstitusi sehingga praktek kebebasan harus memperlihatkan keselamatan dan hidup yang baik dari orang lain. Artinya, pelaksanaan kebebasan satu orang tidak boleh membahayakan kebebasan orang lain. Prinsip keadilan yang kedua menuntut ketidaksamaan dalam mencapai nilai-nilai sosial dan ekonomi. Namun ketidaksamaan itu hanya dibenarkan apabila tetap membuka peluang bagi keuntungan semua orang secara khusus bagi yang paling tidak diuntungkan. Oleh karena itu, ketidaksamaan itu tidak boleh dilihat sebagai ketidakadilan.

 

Hubungan Persoalan Warga Bringkang Tolak Pendirian Gereja Dengan Teori Keadilan John Rawls

Berdasarkan uraian persoalan dan teori kebebasan serta dasar keadilan di Indonesia, penulis kemudian menyimpulkan sebagai berikut: Pertama dengan menjunjung tinggi Bineka Tunggal Ika, semboyan pada dasar filosofi keadilan di Indonesia, maka sepatutnya ditiadakan istilah mayoritas dan minoritas. Kemudian dengan mengingat isi UUD 1945 BAB XI Pasal 29 bahwa negara menjamin kemerdekaan bagi setiap warga dalam memilih, menganut dan menjalankan ajaran agama sesuai ajaran agamanya masing-masing tanpa tekanan dan paksaan dari puhak manapun, maka seharusnya setiap warga negara bebas untuk meribadah kapan dan di mana pun. Tetapi kembali mengingat aturan hukum yang tertuang dalam Pasal 18 Peraturan Bersama Menteri  (PMB) Agama dan Menteri Dalam Negeri no. 8 dan 9 Tahun 2006, maka seharusnya musyawarah mufakat harus dilebihdahulukan dan harus dengan bijaksana dilaksanakan. Berkaitan dengan persoalan ini, sebenarnya konflik tidak mungkin terjadi, jika saja pihak Gereja tidak melanggar isi kesepakatan bersama. Jika dilihat dari teori keadilan John Rawls, maka dapat disimpulkan bahwa pihak Gereja memaksakan kebebasannya dengan tidak memperhatikan kebebebasan pihak lain. Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya demonstrasi. Dari perfektif penulis, penulis membenarkan sikap warga setempat, mengapa? Karena tindakan pihak Gereja yang tidak sesuai dengan kesepakatan dan aturan berlaku, karena jika hasil musyawarah mufakat (demokrasi Pancasila) tidak diindahkan makan sidat hukum yang mengikat dan memaksa harus digerakan.

Simpulan

Negara Indonesia merupakan negara hukum. Demikian segala sesuatu dalam kehidupan kemasyarakatan diatur oleh hukum, sama halnya dengan proses penggunaan dan renovasi bangunan sebagai tempat ibadah di Desa Bringkang Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur. Persoalan yang terjadi sepatutnya tidak terjadi jika masing-masing pihak memegang teguh keadilan dan hukum yang berlaku, atau dengan bahasa teori keadilan John Rawls tidak akan terjadi konflik jika pihak Gereja dan warga setempat saling menjaga kebebasan masing-masing atau tidak saling merugikan kebebasan pihak lain.

Referensi

Abdi, A. P. (2020) Kasus Intoleransi Terus Bersemi Saat Pandemi, Tirto.id. Available at: https://tirto.id/kasus-intoleransi-terus-bersemi-saat-pandemi-f5Jb. Diakses tanggal 30 November 2022.

Abraham, W. (2022) Warga Bringkang Tolak Pendirian Gereja, Camat Gresik Sebut Sudah Ada Audiensi, Surya.co.id. Available at: https://surabaya.tribunnews.com/amp/2022/04/10/warga-bringkang-tolak-pendirian-gereja-camat-menganti-gresik-sebut-sudah-ada-audiensi. Diakses tanggal 30 November 2022.

Khadeeja, S. (2017) Keadilan Yang Hilang, SCRIBD. Available at: https://www.scribd.com/document/346523927/Puisi-Keadilan-Yang-Hilang. Diakses tanggal 30 November 2022.

Loe, Y. B. I. (2015) Kebebasan Setara Sebagai Pilar Penyokong Keadilan Dalam Masyarakat Demokrasi Menurut John Ralws. Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.

Otto G. Madung (2011) Politik Diverensiasi Versus Politik Martabat Manusia?,. Maumere: Ledalero.

Rawls, J. (2006) A Theory of Justice. Diterj. U. Fauzan dan H. Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Tim Redaksi Pusat Bahasa (2008) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 4th edn. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tim redaksi Pustaka Baru (2014) UUD NKRI 1945. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Ujan, A. A. (2001) Keadilan dan Demokrasi. Telaah Filasafat Politik John Rawls. Yogyakarta: Kanisius.

IMPLEMENTASI ANTARA DUNIA REALITA DAN DUNIA MAYA

Tema: Media Sosial dan Kualitas Diri

Modestus Peter Iwan Doluhalang

 

Manusia sebagai “kosa kata akhir” tentu harus menjaga nilai luhur pribadinya dalam kehidupan sehari-hari, seturut dengan konsep Richard Rorty, bahwa setiap apa yang dipikirkan, dikatakan dan dilakukan seseorang itu mencerminkan kualitas dirinya.[1] Hakekatnya manusia merupakan makhluk individu yang diliputi kebutuhan dan keinginan pribadi, namun tidak dapat dielakkan bahwa manusia juga makhluk sosial, yang mana manusia membutuhkan orang lain, membutuhkan teman, keluarga, kerabat dan sesama untuk membangun relasi demi meningkatkan kualitas hidupnya. Untuk itu manusia perlu membangun interaksi sosial, baik dengan kontak langsung atau pun dengan media perantara seperti media sosial. Berdasarkan data Kementrian Komunikasi dan Informatika, sebanyak 43,06 juta orang menggunakan situs jejaring media sosial Facebook, 19,5 juta pengguna Twitter dan 99,9 juta pengguna media Instagram.[2] Dari data ini dapat disimpulkan bahwa manusia secara dinamis bergerak maju dalam menjalin relasi, secara khusus melalui media sosial. Media sosial atau platform digital yang memungkinkan terjalinnya kontak dan komunikasi antar penggunanya, dengan demikian media sosial akan sangat membantu manusia dalam tukar menukar informasi, mencari dan menemukan informasi dan sampai pada mempublikasikan informasi baik dalam bentuk tulisan, audio maupun audio visual.

Kendati demikian media sosial tidak hanya menyajikan banyak hal positif semata, di balik itu terdapat juga hal-hal negatif yang secara sadar atau tidak sadar membawa kita hanyut dalam pengaruh buruk. Diantaranya sebagai berikut: Pertama,  mendekatkan yang jauh tetapi secara tidak sadar menjauhkan yang dekat. Hal ini nampak dalam relasi sosial Gen Z atau lengkapnya generasi z dewasa ini, yang mana sangat bergantung pada perangkat teknologi dan internet, sampai muncul slogan “lebih baik tidak makan dari pada tidak punya kuota internet.” demikian dalam relasi generasi melek digital ini lebih sering terjadi interaksi dengan sesama melalui media sosial, dan mengabaikan interaksi dengan sesama yang berada dalam lingkungan mereka. Dengan demikian interaksi tatap muka cenderung menurun karena dicap ”gaptek”, hal ini sangat berpotensi melahirkan sikap “individualistis” dalam dunia nyata. Kedua, meningkatnya mental “instant”. Berkaitan dengan hal ini, sering ditemukan pada kaum pelajar dan mahasiswa, yang mana dalam menyelesaikan tulisan sebagai tugas atau belajar sering menggunakan “jalan pintas” yang dikenal dengan “Copy Paste.” Hal ini terjadi karena para pelajar dan mahasiswa terlena dan kurang bijaksana dalam menggunakan teknologi ditambah minat dan kesadaran literasi yang rendah. “kalau ada cara mudah, kenapa harus pakai cara yang sulit,” ungkapan ini menggambarkan kondisi kritis dan mini literasil, yang mana pelajar malas membaca buku, malas berliterasi dan memanfaatkan teknologi sebagai solusi untuk menutupi “kebodohannya.”

Ketiga, rentan terpengaruh ajaran dan budaya luar. Akhibat penggunaan media teknologi yang bebas dan tidak bijaksana, bukan tidak mungkin seseorang dapat mengonsumsi ajaran-ajaran, paham, atau ideologi dari luar. Yang ditakutkan adalah jika saja ideologi-ideologi, ajaran dan paham yang diterima itu bertentangan dengan Pancasila, maka dapat menimbulkan ketimpangan kebebasan dan keadilan di bangsa ini. Atau jelasnya yang tergambar dalam kelompok-kelompok radikal atau teroris. Tidak hanya itu, sikap tidak bijaksana dalam menggunakan media sosial pun dapat menciptakan “ketakutan publik” bila tersebarnya berita hoax. Demikian beberapa dari sekian banyak faktor negatif yang diboncengi oleh media sosial. Jika kondisi “cacat” ini terus terpelihara maka sangat pasti dan jelas bahwa kualitas bangsa dan negara kedepannya akan menurun drastis. Kualitas kemajuan suatu bangsa dapat meningkat bila kualitas setiap rakyatnya meningkat. Atau dengan kata lain kemajuan kualitas masing-masing rakyat secara langsung mempengaruhi kemajuan peradaban suatu bangsa.

Maka dari itu, menjadi sangat penting bagi setiap kita untuk meningkatkan kualitas diri, baik secara kognitif atau kecakapan pengetahuan yang dapat kita peroleh dari literasi dan dalam aspek moral yang hanya dapat dikembangkan dengan mendalami ilmu agama dan ilmu Pancasila. Jika demikian kita memperhatikan kualitas diri baik dari aspek kognitf dan juga dalam aspek moral maka kita dapat meningkatkan kualitas bangsa. Tentu dalam menggalakkan hal ini ada banyak hal yang harus dengan teliti dan bijaksana diatur, termasuk penggunaan media sosial. Kembali pada manusia sebagai “kosa kata terkahir” yang mana setiap langkah, tindakan dan keputusan menjadi tolak ukur bagi kualitas pribadi, menuntut setiap kita untuk lebih dan lebih bijaksana. Menghindari hal-hal yang merusak integritas diri, merusak kontak dan komunikasi sosial baik langsung maupun melalui media dan merusak citra dan pandangan kebangsaan yang sebenarnya telah ditata dengan baik berdasarkan refleksi kesamaan penderitaan masa lampau.

Lantas, bagaimana kualitas diri dapat diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari? Pertanyaan semacam ini sudah sering dimunculkan, namun belum banyak menuai jawaban. Sebenarnya untuk menunjukan kualitas diri kita dalam kehidupan nyata maupun dalam dunia sosial media itu sangat sederhana. Dikatakan sederhana karena kita hanya perlu bijaksana dalam melakukan segala sesuatu. Ambil contoh dalam penggunaan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Tik-Tok dan media sosial lainya, kita perlu menimbang baik buruknya, sebab dan akhibat dari tindakan kita. Kita juga perlu menanamkan nilai moral di samping nilai kognitif dalam menggunakan media sosial atau dengan kata lain “saat berselancar dalam dunia maya.” Hal-hal semacam apa yang harus dirubah dan butuh moral sebagai pembatas? Dewasa ini tik-tok sebagai media yang paling “viral” sangat sarat memuat konten-konten yang kurang mendidik. Ditemukan bahwa lebih banyak seleb atau pengguna tik-tok memamerkan aurat dengan tujuan mendapatkan banyak “like, viewers dan followers.” Hal semacam ini dengan sangat jelas menggambarkan moral dan kepribadian yang bobrok. Konten itu kemudian menjadi konsumsi publik yang mana bisa saja membawa dampak buruk pada kekerasan seksual dan masalah sosial lainnya. Jadi apa yang harus dilakukan oleh pengguna media sosial yang memiliki kualitas diri? Tentu saja dengan memuat informasi atau konten-konten yang bermanfaat, misalnya video tutorial, kata-kata mutiara atau motivasi dan lain sebagainya. Atau singkatnya menggunakan media sosial dengan cerdas dan sopan. Dengan demikian kita menjadi manusia yang berintegritas dan berkualitas. Perlu diingat bahwa kualitas dan integritas bukan tujuan, tetapi hanya “efek samping” dari kepribadian yang bermartabat luhur. Maka, rayakanlah keluhuran itu dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

 



[1] Loe, Yohanes B. I, “Kebebasan Setara Sebagai Pilar Penyokong Keadilan Dalam Masyarakat Demokrasi Menurut John Ralws” (Ledalero: STFK Ledalero, 2015), p. 27.

NATAL

Natal dalam tradisi Gereja Katolik diartikan sebagai “Penghayatan atau Perayaan kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus dunia.” Di malam penuh ...