Tema: Media Sosial dan Kualitas Diri
Modestus
Peter Iwan Doluhalang
Manusia sebagai “kosa kata akhir” tentu harus menjaga nilai
luhur pribadinya dalam kehidupan sehari-hari, seturut dengan konsep Richard
Rorty, bahwa setiap apa yang dipikirkan, dikatakan dan dilakukan seseorang itu
mencerminkan kualitas dirinya.[1]
Hakekatnya manusia merupakan makhluk individu yang diliputi kebutuhan dan
keinginan pribadi, namun tidak dapat dielakkan bahwa manusia juga makhluk
sosial, yang mana manusia membutuhkan orang lain, membutuhkan teman, keluarga,
kerabat dan sesama untuk membangun relasi demi meningkatkan kualitas hidupnya.
Untuk itu manusia perlu membangun interaksi sosial, baik dengan kontak langsung
atau pun dengan media perantara seperti media sosial. Berdasarkan data Kementrian
Komunikasi dan Informatika, sebanyak 43,06 juta orang menggunakan situs
jejaring media sosial Facebook, 19,5 juta pengguna Twitter dan 99,9 juta
pengguna media Instagram.[2]
Dari data ini dapat disimpulkan bahwa manusia secara dinamis bergerak maju
dalam menjalin relasi, secara khusus melalui media sosial. Media sosial atau
platform digital yang memungkinkan terjalinnya kontak dan komunikasi antar
penggunanya, dengan demikian media sosial akan sangat membantu manusia dalam
tukar menukar informasi, mencari dan menemukan informasi dan sampai pada
mempublikasikan informasi baik dalam bentuk tulisan, audio maupun audio visual.
Kendati demikian media sosial tidak hanya menyajikan banyak hal
positif semata, di balik itu terdapat juga hal-hal negatif yang secara sadar
atau tidak sadar membawa kita hanyut dalam pengaruh buruk. Diantaranya sebagai
berikut: Pertama, mendekatkan yang jauh
tetapi secara tidak sadar menjauhkan yang dekat. Hal ini nampak dalam relasi
sosial Gen Z atau lengkapnya generasi z dewasa ini, yang mana sangat bergantung
pada perangkat teknologi dan internet, sampai muncul slogan “lebih baik tidak
makan dari pada tidak punya kuota internet.” demikian dalam relasi generasi melek
digital ini lebih sering terjadi interaksi dengan sesama melalui media sosial,
dan mengabaikan interaksi dengan sesama yang berada dalam lingkungan mereka.
Dengan demikian interaksi tatap muka cenderung menurun karena dicap ”gaptek”,
hal ini sangat berpotensi melahirkan sikap “individualistis” dalam dunia nyata.
Kedua, meningkatnya mental “instant”. Berkaitan dengan hal ini, sering
ditemukan pada kaum pelajar dan mahasiswa, yang mana dalam menyelesaikan
tulisan sebagai tugas atau belajar sering menggunakan “jalan pintas” yang
dikenal dengan “Copy Paste.” Hal ini terjadi karena para pelajar dan
mahasiswa terlena dan kurang bijaksana dalam menggunakan teknologi ditambah
minat dan kesadaran literasi yang rendah. “kalau ada cara mudah, kenapa harus
pakai cara yang sulit,” ungkapan ini menggambarkan kondisi kritis dan mini
literasil, yang mana pelajar malas membaca buku, malas berliterasi dan
memanfaatkan teknologi sebagai solusi untuk menutupi “kebodohannya.”
Ketiga, rentan terpengaruh ajaran dan budaya luar. Akhibat
penggunaan media teknologi yang bebas dan tidak bijaksana, bukan tidak mungkin
seseorang dapat mengonsumsi ajaran-ajaran, paham, atau ideologi dari luar. Yang
ditakutkan adalah jika saja ideologi-ideologi, ajaran dan paham yang diterima
itu bertentangan dengan Pancasila, maka dapat menimbulkan ketimpangan kebebasan
dan keadilan di bangsa ini. Atau jelasnya yang tergambar dalam
kelompok-kelompok radikal atau teroris. Tidak hanya itu, sikap tidak bijaksana
dalam menggunakan media sosial pun dapat menciptakan “ketakutan publik” bila
tersebarnya berita hoax. Demikian beberapa dari sekian banyak faktor negatif
yang diboncengi oleh media sosial. Jika kondisi “cacat” ini terus terpelihara
maka sangat pasti dan jelas bahwa kualitas bangsa dan negara kedepannya akan
menurun drastis. Kualitas kemajuan suatu bangsa dapat meningkat bila kualitas
setiap rakyatnya meningkat. Atau dengan kata lain kemajuan kualitas
masing-masing rakyat secara langsung mempengaruhi kemajuan peradaban suatu
bangsa.
Maka dari itu, menjadi sangat penting bagi setiap kita untuk
meningkatkan kualitas diri, baik secara kognitif atau kecakapan pengetahuan
yang dapat kita peroleh dari literasi dan dalam aspek moral yang hanya dapat
dikembangkan dengan mendalami ilmu agama dan ilmu Pancasila. Jika demikian kita
memperhatikan kualitas diri baik dari aspek kognitf dan juga dalam aspek moral
maka kita dapat meningkatkan kualitas bangsa. Tentu dalam menggalakkan hal ini
ada banyak hal yang harus dengan teliti dan bijaksana diatur, termasuk penggunaan
media sosial. Kembali pada manusia sebagai “kosa kata terkahir” yang mana
setiap langkah, tindakan dan keputusan menjadi tolak ukur bagi kualitas
pribadi, menuntut setiap kita untuk lebih dan lebih bijaksana. Menghindari hal-hal
yang merusak integritas diri, merusak kontak dan komunikasi sosial baik
langsung maupun melalui media dan merusak citra dan pandangan kebangsaan yang
sebenarnya telah ditata dengan baik berdasarkan refleksi kesamaan penderitaan masa
lampau.
Lantas, bagaimana kualitas diri dapat diwujudnyatakan dalam
kehidupan sehari-hari? Pertanyaan semacam ini sudah sering dimunculkan, namun
belum banyak menuai jawaban. Sebenarnya untuk menunjukan kualitas diri kita
dalam kehidupan nyata maupun dalam dunia sosial media itu sangat sederhana.
Dikatakan sederhana karena kita hanya perlu bijaksana dalam melakukan segala
sesuatu. Ambil contoh dalam penggunaan media sosial seperti Facebook, Twitter,
Instagram, Tik-Tok dan media sosial lainya, kita perlu menimbang baik buruknya,
sebab dan akhibat dari tindakan kita. Kita juga perlu menanamkan nilai moral di
samping nilai kognitif dalam menggunakan media sosial atau dengan kata lain
“saat berselancar dalam dunia maya.” Hal-hal semacam apa yang harus dirubah dan
butuh moral sebagai pembatas? Dewasa ini tik-tok sebagai media yang paling
“viral” sangat sarat memuat konten-konten yang kurang mendidik. Ditemukan bahwa
lebih banyak seleb atau pengguna tik-tok memamerkan aurat dengan tujuan
mendapatkan banyak “like, viewers dan followers.” Hal
semacam ini dengan sangat jelas menggambarkan moral dan kepribadian yang
bobrok. Konten itu kemudian menjadi konsumsi publik yang mana bisa saja membawa
dampak buruk pada kekerasan seksual dan masalah sosial lainnya. Jadi apa yang
harus dilakukan oleh pengguna media sosial yang memiliki kualitas diri? Tentu
saja dengan memuat informasi atau konten-konten yang bermanfaat, misalnya video
tutorial, kata-kata mutiara atau motivasi dan lain sebagainya. Atau singkatnya
menggunakan media sosial dengan cerdas dan sopan. Dengan demikian kita menjadi
manusia yang berintegritas dan berkualitas. Perlu diingat bahwa kualitas dan
integritas bukan tujuan, tetapi hanya “efek samping” dari kepribadian yang
bermartabat luhur. Maka, rayakanlah keluhuran itu dalam kehidupan sehari-hari.
[1] Loe, Yohanes B. I,
“Kebebasan Setara Sebagai Pilar Penyokong Keadilan Dalam Masyarakat Demokrasi
Menurut John Ralws” (Ledalero: STFK Ledalero, 2015), p. 27.


Keren kaka
BalasHapusDuar... Meledak
BalasHapus