Mengenai Saya

Foto saya
Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia

Senin, 06 Februari 2023

IMPLEMENTASI ANTARA DUNIA REALITA DAN DUNIA MAYA

Tema: Media Sosial dan Kualitas Diri

Modestus Peter Iwan Doluhalang

 

Manusia sebagai “kosa kata akhir” tentu harus menjaga nilai luhur pribadinya dalam kehidupan sehari-hari, seturut dengan konsep Richard Rorty, bahwa setiap apa yang dipikirkan, dikatakan dan dilakukan seseorang itu mencerminkan kualitas dirinya.[1] Hakekatnya manusia merupakan makhluk individu yang diliputi kebutuhan dan keinginan pribadi, namun tidak dapat dielakkan bahwa manusia juga makhluk sosial, yang mana manusia membutuhkan orang lain, membutuhkan teman, keluarga, kerabat dan sesama untuk membangun relasi demi meningkatkan kualitas hidupnya. Untuk itu manusia perlu membangun interaksi sosial, baik dengan kontak langsung atau pun dengan media perantara seperti media sosial. Berdasarkan data Kementrian Komunikasi dan Informatika, sebanyak 43,06 juta orang menggunakan situs jejaring media sosial Facebook, 19,5 juta pengguna Twitter dan 99,9 juta pengguna media Instagram.[2] Dari data ini dapat disimpulkan bahwa manusia secara dinamis bergerak maju dalam menjalin relasi, secara khusus melalui media sosial. Media sosial atau platform digital yang memungkinkan terjalinnya kontak dan komunikasi antar penggunanya, dengan demikian media sosial akan sangat membantu manusia dalam tukar menukar informasi, mencari dan menemukan informasi dan sampai pada mempublikasikan informasi baik dalam bentuk tulisan, audio maupun audio visual.

Kendati demikian media sosial tidak hanya menyajikan banyak hal positif semata, di balik itu terdapat juga hal-hal negatif yang secara sadar atau tidak sadar membawa kita hanyut dalam pengaruh buruk. Diantaranya sebagai berikut: Pertama,  mendekatkan yang jauh tetapi secara tidak sadar menjauhkan yang dekat. Hal ini nampak dalam relasi sosial Gen Z atau lengkapnya generasi z dewasa ini, yang mana sangat bergantung pada perangkat teknologi dan internet, sampai muncul slogan “lebih baik tidak makan dari pada tidak punya kuota internet.” demikian dalam relasi generasi melek digital ini lebih sering terjadi interaksi dengan sesama melalui media sosial, dan mengabaikan interaksi dengan sesama yang berada dalam lingkungan mereka. Dengan demikian interaksi tatap muka cenderung menurun karena dicap ”gaptek”, hal ini sangat berpotensi melahirkan sikap “individualistis” dalam dunia nyata. Kedua, meningkatnya mental “instant”. Berkaitan dengan hal ini, sering ditemukan pada kaum pelajar dan mahasiswa, yang mana dalam menyelesaikan tulisan sebagai tugas atau belajar sering menggunakan “jalan pintas” yang dikenal dengan “Copy Paste.” Hal ini terjadi karena para pelajar dan mahasiswa terlena dan kurang bijaksana dalam menggunakan teknologi ditambah minat dan kesadaran literasi yang rendah. “kalau ada cara mudah, kenapa harus pakai cara yang sulit,” ungkapan ini menggambarkan kondisi kritis dan mini literasil, yang mana pelajar malas membaca buku, malas berliterasi dan memanfaatkan teknologi sebagai solusi untuk menutupi “kebodohannya.”

Ketiga, rentan terpengaruh ajaran dan budaya luar. Akhibat penggunaan media teknologi yang bebas dan tidak bijaksana, bukan tidak mungkin seseorang dapat mengonsumsi ajaran-ajaran, paham, atau ideologi dari luar. Yang ditakutkan adalah jika saja ideologi-ideologi, ajaran dan paham yang diterima itu bertentangan dengan Pancasila, maka dapat menimbulkan ketimpangan kebebasan dan keadilan di bangsa ini. Atau jelasnya yang tergambar dalam kelompok-kelompok radikal atau teroris. Tidak hanya itu, sikap tidak bijaksana dalam menggunakan media sosial pun dapat menciptakan “ketakutan publik” bila tersebarnya berita hoax. Demikian beberapa dari sekian banyak faktor negatif yang diboncengi oleh media sosial. Jika kondisi “cacat” ini terus terpelihara maka sangat pasti dan jelas bahwa kualitas bangsa dan negara kedepannya akan menurun drastis. Kualitas kemajuan suatu bangsa dapat meningkat bila kualitas setiap rakyatnya meningkat. Atau dengan kata lain kemajuan kualitas masing-masing rakyat secara langsung mempengaruhi kemajuan peradaban suatu bangsa.

Maka dari itu, menjadi sangat penting bagi setiap kita untuk meningkatkan kualitas diri, baik secara kognitif atau kecakapan pengetahuan yang dapat kita peroleh dari literasi dan dalam aspek moral yang hanya dapat dikembangkan dengan mendalami ilmu agama dan ilmu Pancasila. Jika demikian kita memperhatikan kualitas diri baik dari aspek kognitf dan juga dalam aspek moral maka kita dapat meningkatkan kualitas bangsa. Tentu dalam menggalakkan hal ini ada banyak hal yang harus dengan teliti dan bijaksana diatur, termasuk penggunaan media sosial. Kembali pada manusia sebagai “kosa kata terkahir” yang mana setiap langkah, tindakan dan keputusan menjadi tolak ukur bagi kualitas pribadi, menuntut setiap kita untuk lebih dan lebih bijaksana. Menghindari hal-hal yang merusak integritas diri, merusak kontak dan komunikasi sosial baik langsung maupun melalui media dan merusak citra dan pandangan kebangsaan yang sebenarnya telah ditata dengan baik berdasarkan refleksi kesamaan penderitaan masa lampau.

Lantas, bagaimana kualitas diri dapat diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari? Pertanyaan semacam ini sudah sering dimunculkan, namun belum banyak menuai jawaban. Sebenarnya untuk menunjukan kualitas diri kita dalam kehidupan nyata maupun dalam dunia sosial media itu sangat sederhana. Dikatakan sederhana karena kita hanya perlu bijaksana dalam melakukan segala sesuatu. Ambil contoh dalam penggunaan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Tik-Tok dan media sosial lainya, kita perlu menimbang baik buruknya, sebab dan akhibat dari tindakan kita. Kita juga perlu menanamkan nilai moral di samping nilai kognitif dalam menggunakan media sosial atau dengan kata lain “saat berselancar dalam dunia maya.” Hal-hal semacam apa yang harus dirubah dan butuh moral sebagai pembatas? Dewasa ini tik-tok sebagai media yang paling “viral” sangat sarat memuat konten-konten yang kurang mendidik. Ditemukan bahwa lebih banyak seleb atau pengguna tik-tok memamerkan aurat dengan tujuan mendapatkan banyak “like, viewers dan followers.” Hal semacam ini dengan sangat jelas menggambarkan moral dan kepribadian yang bobrok. Konten itu kemudian menjadi konsumsi publik yang mana bisa saja membawa dampak buruk pada kekerasan seksual dan masalah sosial lainnya. Jadi apa yang harus dilakukan oleh pengguna media sosial yang memiliki kualitas diri? Tentu saja dengan memuat informasi atau konten-konten yang bermanfaat, misalnya video tutorial, kata-kata mutiara atau motivasi dan lain sebagainya. Atau singkatnya menggunakan media sosial dengan cerdas dan sopan. Dengan demikian kita menjadi manusia yang berintegritas dan berkualitas. Perlu diingat bahwa kualitas dan integritas bukan tujuan, tetapi hanya “efek samping” dari kepribadian yang bermartabat luhur. Maka, rayakanlah keluhuran itu dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

 



[1] Loe, Yohanes B. I, “Kebebasan Setara Sebagai Pilar Penyokong Keadilan Dalam Masyarakat Demokrasi Menurut John Ralws” (Ledalero: STFK Ledalero, 2015), p. 27.

2 komentar:

NATAL

Natal dalam tradisi Gereja Katolik diartikan sebagai “Penghayatan atau Perayaan kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus dunia.” Di malam penuh ...