Pemuda Cinta Gereja Dan Bangsa
Sapardi Djoko Damono, dalam puisi berjudul “Bunga-bunga di
taman,” menggambarkan bagaimana banyak bunga dengan jenis dan warna yang
berbeda dalam satu taman yang sama (Damono, 1994: 11). Secara tidak langsung, puisi ini menggambarkan
pula keadaan bangsa Indonesia yang majemuk. Indonesia dikatakan majemuk karena
memiliki banyak suku, bahasa, adat-istiadat, budaya dan agama.
Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian menghiasi dan mewarnai bangsa
Indonesia.
Kendati demikian, hidup dalam perbedaan tidaklah mudah, apa
lagi bila perbedaan dijadikan alasan untuk melahirkan konflik. Memang konflik
lumrah terjadi di dalam interaksi sosial, namun jika konflik itu tidak disikapi
dengan bijak, maka dapat menimbulkan ketidaknyamanan yang berujung pada
perpecahan bangsa dan negara. Lalu bagaimana cara untuk mengatasi dan mengantisipasi
terjadi konflik dalam kehidupan dengan penuh perbedaan seperti ini? Emile
Durkheim, seorang sosiolog menawarkan teori Keteraturan sosialnya, baik dalam
masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan. Hematnya, Durkheim menjelaskan
bagaimana keteraturan dalam masyarakat dapat tercipta melalui proses tertib
sosial yang bersadarkan norma yang berlaku dalam masyarakat, hukum sebagai
norma yang baku dan kaku yang pada akhirnya melahirkan sebuah pola keteraturan.
Lalu apa afiliasi dengan Orang Muda Katolik, sebagai generasi
bangsa dan Gereja? Kembali pada konteks masyarakat, yang mana tidak hanya
terdiri dari satu agama. Dengan demikian, orang muda pada umumnya dan secara
khusus orang muda Katolik harus mampu menempatkan diri sesuai dengan posisi
yang tepat dalam masyarakat, seturut dengan pandangan Durkheim. Atau dengan
kata lain, sebagai orang muda Katolik, tidak boleh memaksakan
perspektif-perspektif Katolik secara spesifik kepada semua orang secara
universal dalam masyarakat. Mengapa? Karena sekali lagi ditekankan bahwa tidak
semua masyarakat itu beragama Katolik, yang artinya tidak semua masyarakat
dapat menerima perspektif agama Katolik. Secara lebih spesifik, John Rawls
dalam A Theory of Justice, menjelaskan tentang apa itu “posisi asali”
manusia (Loe, 2015: 11). Yang mana posisi asali itu adalah sebuah sifat
refektif personal atau individu dalam menyikapi perbedaan. Hakekatnya manusia
adalah makhluk individu, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia juga makhluk
sosial, yang mana manusia memiliki kerinduan dan kebutuhan untuk berinteraksi
secara manusiawi dengan manusia lain. Atau dapat dijabarkan bahwa OMK adalah
anggota Gereja, tetapi juga memiliki kerinduan untuk berinteraksi dengan orang
muda dari agama lain
Lalu bagaimana orang muda Katolik harus bersikap dalam
interaksinya dengan sesama beragama lain, berhubungan dengan orang muda yang
100% Katolik dan 100% Indonesia? Menjawabi hal ini, sebenarnya kita perlu kembali
pada hukum tertinggi dalam Gereja Katolik tentang “cinta kasih”. “Barang siapa
tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih”(Bdk.
1 Yohanes 4: 8). Ajaran tentang mengasihi dalam Gereja Katolik, tidak hanya
mengarah pada kasih terhadap sesama umat beriman Katolik semata, tetapi juga
kepada semua orang, termasuk sesama beragama lain, sebagaimana yang tertulis
dalam Injil Matius 5: 45, bahwa Allah menerbitkan matahari dan menurunkan hujan
tidak hanya untuk orang baik, tetapi untuk semua orang. Maka dari itu, sikap
saling menerima, menghargai dan menghormati cukup untuk membawa keharmonisan
dalam interaksi orang muda Katolik dengan orang muda beragama lain. Atau dengan
bahasa teoritis dalam buku Collected Paper (1999), Jhon Rawls menawarkan
konsep nalar privat dan nalar publik. Artinya, dalam komunikasi pribadi, intern
atau prifatnya orang muda Katolik boleh mengedepankan konsep agama Katolik secara spesifik, tetapi
dalam interaksi dan komunikasi bersifat publik, hal tersebut harus dihindari.
Kemudian, dalam menjawabi pertanyaan manakan yang lebih
penitng, negara atau agama? Tentu saja dua-duanya sama penting, orang muda
Katolik adalah umat Allah, tetapi di samping itu mereka juga adalah masyarakat
yang berkewajiban menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Merujuk pada ajaran
Yesus, “berikan kepada kaisar, apa yang menjadi hak kaisar dan berikan kepada
Allah, apa yang menjadi hak Allah.” Bagaimana aplikasinya? Sebagai umat
Gereja, orang muda Katolik wajib
menjalankan 10 perintah Allah dan 5 perintah Gereja, Aktif dalam kegiatan
pastoral (katekese, kor, dsb). Dan sebagai masyarakat, orang muda Katolik wajib
mematuhi aturan-aturan pemerintah dan menjaga kedaulatan bangsa Indonesia.
Ringkasnya, sebagai orang muda Katolik harus menjadi manusia
yang ironis liberal, yang mana ia kuat dan tekun dalam imannya, tetapi dalam
berinteraksi mampu menghargai, menghormati dan pada puncaknya merayakan
perbedaan yang ada. Karena pada hakekatnya, seturut dengan pernyataan Richard
Rorty bahwa segala sesuatu yang dipikirkan, dikatakan dan dilakukan oleh setiap
orang, menggambarkan kualitas dirinya, kualitas imannya dan kualitas agamanya.
Maka dari itu, gambarkanlah kualitas iman dan agama Katolik dalam tutur kata
dan sikap kita sebagai orang muda Katolik yang cinta Gereja dan bangsa.
MPI_Dlh-G
REFERENSI
Damono, S. D. (1994). Manuskrip Puisi Hujan Bulan Juni.
PT. Grasindo.
Lembaga Alkitab Indonesia. (2011). Alkitab Deuterokanonika
(19th ed.). LAI dan LBI.
Loe, Y. B. I. (2015). Kebebasan Setara Sebagai Pilar
Penyokong Keadilan Dalam Masyarakat Demokrasi Menurut John Rawls. Sekolah
Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.


Syaduh kanda☕🌹
BalasHapus